Minggu, 18 Maret 2018

Diorama Cinta Part10



Sudah seminggu mas Bram pergi. Rutinitasku pun tak banyak berubah. Seperti pagi ini, setelah memasak aku mencuci piring. Seperti hari-hari sebelumnya aku menantikan pemandangan pagi hari yang selalu kutunggu. Namun ada yang aneh hari ini, burung gereja yang biasanya bertengger di ranting pohon kedondong kini hanya seekor. Yang satunya kemana? Ah ... mungkin sebentar lagi, pikirku. Namun setelah beberapa saat aku tunggu, burung itupun tak pernah hadir. Burung gereja itu  akhirnya terbang sendirian. 

Seketika pikiranku tambah kesepian. Aku sedih bahwa aku tahu burung gereja itu sejatinya sama seperti diriku. Segera aku ambil gawaiku. Biasanya pagi hari mas Bram akan meneleponku atau sekedar WA menanyakan kabarku. Namun aneh pagi ini, gawaiku tidak nampak berita darinya. Ah ... mungkin sibuk, gumamku. 

Apa aku yang harus memulai dulu? Tapi rasanya aku masih gengsi. Ah, entahlah ... itulah aku. Kubiarkan saja, kulihat gawai yang kini berada di atas meja. Kulihat tumpukan piring kotor yang belum aku sentuh. Meskipun tak banyak tapi tak juga aku cuci sejak aku tahu pagi ini tidak ada sepasang burung gereja, hatiku jadi merasa. 

Kini nyeri itu kurasakan lagi, kali ini sakitnya tak bisa aku tahan. Aku binggung hendak menghubungi siapa? Tidak mungkin aku menghubungi ibuku. Ibuku sudah tua untuk bisa naik kendaraan umum ke tempat tinggalku. Kini siapa lagi yang bisa kuhubungi? Mas Bram ... ah rasanya tak mungkin. Jika aku menelepon mas Bram, malah membuat dia semakin kepikiran. Hingga akhirnya kutahan sakit ini sampai malam hari. 

Haifa sudah pulang kantor? Tolong ke rumah sebentar ya! 

Ku kirim pesan itu ke pada sahabatku, Haifa. Aku tunggu balasan darinya. Dan akhirnya gawaiku pun berbunyi. 

Iya, tunggu ya sebentar lagi. 

Tidak lama setelah itu, bel rumahku berbunyi. Aku yakin itu pasti Haifa, sahabatku. Aku ambil kerudungku dan menuju ke pintu depan. 

“Assalamualaikum...” 

“Wa’alaikumsalam ...” 

“Masuk Fa.” Dengan menahan rasa sakit, aku pegangi perutku. 

“Fania, kamu tidak apa-apa? kamu pucat sekali!” tanyanya. 

“Kamu kenapa Fan?” tanyanya lagi. 

“Perut bagian bawahku sakit sekali Haifa, sejak tadi pagi.” Sambil meringis ku jawab pertanyaanya. 

“Kita kedokter ya?” 

Aku jawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala. 

Di perjalanan haifa mengemudikan mobilnya dengan cepat bahkan bisa dibilang ngebut. Aku tahu dia sangat panik melihat kondisiku. 

“Pelan-pelan Fa, aku gak papa ko,” kataku. Agar dia tidak mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. 

“Iya, kamu tenang saja, bentar lagi nyampe.” 

Setelah mengantri akhirnya tiba giliranku memasuki ruang praktek dokter. 

“Malam mba! Sakit apa? Tanya dokter itu kepadaku?” 

“ini dokter perut di bagian bawah sakit sekali!” 

“Sering begini?” 

“Iya Akhir-akhir ini.” 

“Menstruasinya lancar?” 

“Enggak dokter.” 

“Coba saya periksa dulu ya?” 

Akupun tidur di tempat tidur yang sudah disediakan. 

“Maaf saya periksa perutnya ya?” 

Aku buka bajuku, aku perlihatkan perutku. 

“Loh, kok perutnya kelihatan agak besar ya? Mbak sudah menikah?” 

“Sudah dokter.” 

“Apa hamil?maksud saya apa pernah di tesk pack kalau hamil?” 

“Ah, ga mungkin lah dokter. Sekarang saya sedang menstruasi kok.” 

Dokter itu kini kembali ke tempat duduknya. Aku pun mengikuti. 

“Ini saya kasih rujukan untuk periksa ke dokter kandungan saja. Nanti biar disana diadakan pemeriksaan lebih lanjut.” 

“Maaf dokter, sebenarnya saya sakit apa?” 

“Kalau diagnosa saya, saya curiga, kalau tidak tumor ya kanker di ovarium. Tapi ini masih diagnosa sementara. Semoga tidak demikian ya!” kata dokter itu berusaha menghiburku. 

Seketika itu badanku lemas, seperti aku tidak mempunyai tulang untuk menyangga tubuhku. Ya Allah lindungi hamba dari penyakit yang berbahaya, doaku dalam hati.


Bersambung ... 

1 komentar: